Media Hiburan yang Juga Menjadi Ruang Kritik Sosial
KabarJawa.com – Seni pewayangan selalu menjadi bagian penting yang tak bisa dilepaskan dari sejarah panjang masyarakatnya. Artinya, wayang bukan hanya sebuah pertunjukan yang menghadirkan kisah-kisah heroik dan mitologis, tetapi juga menjadi cermin kehidupan sosial yang sarat dengan pesan moral.
Seiring berjalannya waktu, pewayangan tidak sekadar berfungsi sebagai hiburan, melainkan juga berkembang menjadi wadah penyampaian kritik sosial yang halus namun tajam.
Wayang di Era Modern – Antara Tradisi dan Hiburan Rakyat
Meski zaman terus berubah, pertunjukan wayang tetap memiliki tempat istimewa di hati masyarakat Jawa. Hingga kini, wayang masih sering digelar dalam berbagai acara seperti perayaan hari jadi daerah, pesta rakyat, hingga hajatan keluarga besar.
Kemeriahan acara semakin lengkap dengan kehadiran dalang dan gamelan yang menghidupkan suasana malam penuh makna.
Meskipun banyak hiburan modern bermunculan, wayang tetap bertahan karena tidak hanya menawarkan tontonan, tetapi juga tuntunan. Setiap lakon wayang, baik yang diambil dari kisah Ramayana, Mahabharata, maupun legenda lokal, selalu mengandung nilai-nilai kehidupan yang luhur.
Berdasarkan laman resmi Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, diketahui bahwa pertunjukan wayang memiliki misi penting, yakni menyampaikan ajaran moral dan budi pekerti kepada masyarakat melalui kisah simbolik dan tokoh-tokoh yang penuh makna.
Namun, di balik kisah heroik dan pesan moral tersebut, ada satu bagian dalam pewayangan yang menjadi daya tarik tersendiri bagi penonton, yaitu babak goro-goro.
Di sinilah unsur hiburan dan kritik sosial berpadu dengan cerdas melalui kelucuan dan dialog tokoh-tokoh punakawan.
Goro-Goro – Humor Menjadi Sarana Kritik Sosial
Babak goro-goro merupakan bagian khas dalam pertunjukan wayang yang sangat dinanti penonton. Dalam segmen ini, suasana menjadi lebih ringan karena dipenuhi canda tawa, tetapi di balik kelucuannya tersimpan pesan yang dalam.
Tokoh-tokoh punakawan seperti Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong tampil sebagai pembawa humor sekaligus penyampai nasihat kehidupan.
Para punakawan biasanya berdialog dengan gaya jenaka, namun isi percakapan mereka sering kali menyentuh isu-isu sosial yang sedang trending.
Melalui bahasa sederhana dan sindiran yang halus, dalang menyampaikan kritik terhadap berbagai persoalan masyarakat, mulai dari ketidakadilan, kerakusan, hingga perilaku manusia yang lupa akan nilai-nilai spiritual.
Goro-goro tidak hanya menghibur, tetapi juga membuat penonton merenung. Di tangan dalang-dalang berbakat seperti Ki Seno Nugroho dan Ki Enthus Susmono, babak ini menjadi ruang yang cerdas untuk menyampaikan kritik sosial tanpa menyinggung, justru menumbuhkan kesadaran kolektif.
Kekuatan goro-goro terletak pada kemampuannya menyampaikan pesan serius dengan cara yang menyenangkan.
Humor dijadikan sebagai jembatan untuk membuka ruang dialog antara seni dan realitas sosial.
Dengan demikian, pertunjukan wayang tidak hanya menjadi tontonan tradisional, tetapi juga media komunikasi budaya yang efektif dan membumi.
Wayang sebagai Refleksi Sosial
Fungsi seni pewayangan kini semakin luas. Selain sebagai hiburan tradisional, wayang juga menjadi sarana refleksi bagi masyarakat untuk menilai kondisi sosialnya sendiri.
Kritik yang disampaikan dalam babak goro-goro sering kali menggambarkan realitas masyarakat secara halus, tetapi tetap menyentuh dan relevan.
Melalui dialog antara punakawan dan tokoh utama, penonton diajak untuk memahami nilai-nilai seperti kejujuran, kesederhanaan, serta pentingnya menjaga keseimbangan antara duniawi dan spiritual.
Hal ini menjadikan pewayangan lebih dari sekadar pertunjukan, melainkan juga bentuk pendidikan moral dan budaya.
Wayang telah membuktikan dirinya sebagai media yang mampu beradaptasi dengan zaman tanpa kehilangan jati diri.
Banyak dalang muda kini memadukan elemen tradisional dengan teknologi modern, seperti pencahayaan, efek suara, dan narasi yang lebih aktual. Namun, esensi pewayangan tetap sama yaitu menyampaikan pesan kehidupan dengan cara yang menghibur sekaligus mendidik.
Tetap Relevan sampai Saat Ini
Jadi, seni pewayangan Jawa mencerminkan bahwa tradisi dapat tetap hidup di tengah arus modernisasi.
Pasalnya, wayang menyimpan filosofi mendalam tentang kehidupan manusia. Lewat tokoh-tokoh punakawan dan babak goro-goro, masyarakat diajak tertawa sekaligus merenung tentang kondisi sosial yang terjadi di sekitarnya.
Kritik sosial yang disampaikan dengan humor membuat wayang tetap relevan dan digemari lintas generasi.
Pertunjukan seni ini telah menjadi media komunikasi budaya yang lembut namun berpengaruh yang mana bakal mengingatkan bahwa seni tidak hanya untuk menghibur, tetapi juga untuk menyadarkan dan bahkan memperbaiki apa yang ada di kehidupan sosial masyarakat.***
News
Berita
News Flash
Blog
Technology
Sports
Sport
Football
Tips
Finance
Berita Terkini
Berita Terbaru
Berita Kekinian
News
Berita Terkini
Olahraga
Pasang Internet Myrepublic
Jasa Import China
Jasa Import Door to Door